BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Geoteknik atau dikenal sebagai engineering geology merupakan bagian dari rekayasa perencanaan tambang (mine plan) yang didasarkan pada pengetahuan yang terkumpul selama sejarah
penambangan. Seorang mine plan yang merancang terowongan, jalan raya, bendungan atau
yang lainnya memerlukan suatu estimasi bagaimana tanah dan batuan akan merespon
tegangan, sehingga dalam hal ini penyelidikan geoteknik merupakan bagian dari
uji lokasi dan merupakan dasar untuk pemilihan lokasi. Bagian dari ilmu
geoteknik yang berhubungan dengan respon material alami terhadap gejala
deformasi disebut dengan geomekanika.
Didalam
operasi penambangan, masalah kemantapan lereng akan ditemukan pada Penggalian
Tambang Terbuka (open pit ataupun open cut), bendungan untuk cadangan air
kerja, di tempat – tempat penimbunan bahan buangan (tailing disposal) dan di
penimbunan bijih (stockyard).
Apabila
lereng yang terbentuk sebagai akibat dari proses penambangan (pit slope) maupun
yang merupakan sarana penunjang operasi penambangan (bendungan, jalan, dll) itu
tidak stabil maka kegiatan produksi akan terganggu.
Oleh karena
itu suatu analisis kemantapan lereng merupakan suatu bagian yang penting untuk
mencegah terjadinya gangguan terhadap kelancaran produksi maupun terjadinya
bencana yang fatal.
Dari uraian latar
belakang diatas, maka judul dari embuatan makalah ini adalah “Parameter Geoteknik Untuk Kestabilan Lereng
Pada Tambang Terbuka”
1.2
Identifikasi Masalah
1.
Faktor Kestabilan Lereng
2.
Klasifikasi Kelongsoran
3.
Metode
Analisis Kestabilan Lereng
4.
Faktor Keamanan (FK) Lereng
Minimum
5.
Geometri Jenjang (Bench
Dimension)
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan dari
pembutan makalah ini yaitu diharapkan bisa mengenal lebih detail lagi parameter
dari Geoteknik Tambang dan mampu menguasai perhitungan mengenai geometri
jenjang.
1.4
Manfaat Penulisan
Makalah ini di buat agar
bermanfaat untuk:
1) Bagi Penulis dan Pembaca:
Menambah pengetahuan dan wawasan agar kedepannya mampu menguasai perhitungan
geoteknik tambang untuk geometri jenjang dan dapat mengaplikasikannya sessuai
kebutuhan
2) Bagi Tenaga Pengajar:
Sebagai bahan referensi di perpustakaan dan
untuk tambahan bahan ajar
1.5
Metodelogi Penulisan
Dalam pembuatan
makalah ini metode yang digunakan untuk pengumpulan dan pengolahan data adalah
:
1.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data,
yaitu :
a.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data dari buku, internet
atau artikel-artikel terkait lainnya dan pemahaman yang dilihat dari sudut pandang penulis dan
berhubungan dengan materi pembahasan yang digunakan untuk mendukung pembahasan
ini.
2.
Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul kemudian diolah dengan suatu
teknik pengolahan data secara Deduksi dan Induksi sebagai berikut :
a. Secara
Deduksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum,
kemudian dibahas menjadi suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
Secara Induksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak
dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dibahasmenjadi suatu kesimpulan
yang bersifat umum (merupakan kebalikan dari metode deduksi).
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Kemantapan
Lereng
Kemantapan (stabilitas) lereng
merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam pekerjaan yang berhubungan
dengan penggalian dan penimbunan tanah, batuan dan bahan galian, karena
menyangkut persoalan keselamatan manusia (pekerja), keamanan peralatan serta
kelancaran produksi. Keadaan ini berhubungan dengan terdapat dalam
bermacam-macam jenis pekerjaan, misalnya pada pembuatan jalan, bendungan,
penggalian kanal, penggalian untuk konstruksi, penambangan dan lain-lain.
Kestabilan dari suatu lereng pada
kegiatan penambangan dipengaruhi oleh kondisi geologi daerah setempat, bentuk
keseluruhan lereng pada lokasi tersebut, kondisi air tanah setempat, faktor
luar seperti getaran akibat peledakan ataupun alat mekanis yang beroperasi dan
juga dari teknik penggalian yang digunakan dalam pembuatan lereng. Faktor
pengontrol ini jelas sangat berbeda untuk situasi penambangan yang berbeda dan
sangat penting untuk memberikan aturan yang umum untuk menentukan seberapa
tinggi atau seberapa landai suatu lereng untuk memastikan lereng itu akan tetap
stabil.
Dalam operasi penambangan masalah
kemantapan lereng ini akan diketemukan pada penggalian tambang terbuka,
bendungan untuk cadangan air kerja, tempat penimbunan limbah buangan (tailing
disposal) dan penimbunan bijih (stockyard). Apabila lereng-lereng yang
terbentuk sebagai akibat dari proses penambangan (pit slope) maupun yang
merupakan sarana penunjang operasi penambangan (seperti bendungan dan jalan)
tidak stabil, maka akan mengganggu kegiatan produksi.
Kestabilan lereng penambangan
dipengaruhi oleh geometri lereng, struktur batuan, sifat fisik dan mekanik
batuan serta gaya luar yang bekerja pada lereng tersebut. Suatu cara yang
umum untuk menyatakan kestabilan suatu lereng penambangan adalah dengan faktor
keamanan. Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya penahan yang membuat
lereng tetap stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan terjadinya longsor.
Dari keterangan diatas, dapat
dipahami bahwa analisis kemantapan lereng merupakan suatu bagian yang penting
untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap kelancaran produksi maupun
terjadinya bencana yang fatal. Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah
atau batuan umumnya berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang
timbul dari dalam. Karena sesuatu sebab mengalami perubahan keseimbangan akibat
pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lain, maka
tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaaan yang baru secara
alamiah. Cara ini biasanya berupa proses degradasi atau pengurangan beban,
terutama dalam bentuk longsoran-longsoran atau gerakan-gerakan lain sampai
tercapai keadaaan keseimbangan yang baru. Pada tanah atau batuan dalam keadaan
tidak terganggu (alamiah) telah bekerja tegangan-tegangan vertikal, horisontal
dan tekanan air dari pori. Ketiga hal di atas mempunyai peranan penting dalam
membentuk kestabilan lereng.
Sedangkan tanah atau batuan sendiri
mempunyai sifat-sifat fisik asli tertentu, seperti sudut geser dalam (angle of
internal friction), gaya kohesi dan bobot isi yang juga sangat berperan dalam
menentukan kekuatan tanah dan yang juga mempengaruhi kemantapan lereng. Oleh karena
itu dalam usaha untuk melakukan analisis kemantapan lereng harus diketahui
dengan pasti sistem tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan dan juga
sifat-sifat fisik aslinya. Dengan pengetahuan dan data tersebut kemudian dapat
dilakukan analisis kelakuan tanah atau batuan tersebut jika digali atau
“diganggu”. Setelah itu, bisa ditentukan geometri lereng yang diperbolehkan
atau mengaplikasi cara-cara lain yang dapat membantu lereng tersebut menjadi
stabil dan mantap.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Faktor Kestabilan Lereng
Dalam
menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan
(safety factor) yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan
gerakan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil,
bila dirumuskan sebagai berikut :
Faktor
kemanan (F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk
keadaan :
• F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
• F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
• F < 1,0 : lereng tidak mantap
• F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
• F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
• F < 1,0 : lereng tidak mantap
Jadi dalam menganalisis kemantapan
lereng akan selalu berkaitan dengan perhitungan untuk mengetahui angka faktor
keamanan dari lereng tersebut.
Data yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai
FK (Faktor keamanan lereng) adalah sebagai berikut :
1.
Data lereng atau geometri lereng (terutama diperlukan
untuk membuat penampang lereng). Meliputi : sudut Kemiringan lereng,
tinggi lereng dan lebar jalan angkut atau berm pada lereng tersebut.
2.
Data mekanika tanah
a.
Sudut geser dalam (ɸ)
b.
Bobot isi tanah atau batuan (γ)
c.
Kohesi (c)
d.
Kadar air tanah (ω)
3. Faktor Luar
a.
Getaran akibat kegiatan peledakan,
b.
Beban alat mekanis yang beroperasi, dll.
Data mekanika tanah yang diambil
sebaiknya dari sampel tanah yang tidak terganggu (Undisturb soil). Kadar
air tanah (ω) diperlukan terutama dalam perhitungan yang menggunakan computer
(terutama bila memerlukan data γdryatau bobot satuan isi tanah
kering, yaitu : γdry = γ wet / ( 1 + ω).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisa kestabilan lereng penambangan
adalah sebagai berikut : (Ir.
Karyono M.T, Diklat Perencanaan Tambang Terbuka, Unisba).
1.
Kuat Geser Tanah atau Batuan
Kekuatan yang
sangat berperan dalam analisa kestabilan lereng terdiri dari sifat
fisik dan sifat mekanik dari batuan tersebut. Sifat fisik batuan yang digunakan
dalam menganalisa kemantapan lereng adalah bobot isitanah, sedangkan sifat
mekaniknya adalah kuat geser batuan yang dinyatakan dengan parameter kohesi (c)
dan sudut geser dalam. Kekuatan geser batuan ini adalah kekuatan yang berfungsi
sebagai gaya untuk melawan atau menahan gaya penyebab kelongsoran.
a.
Bobot Isi Tanah
Atau Batuan
Nilai bobot isi tanah
atau batuan akan menentukan besarnya beban yang diterima pada permukaan
bidang longsor, dinyatakan dalam satuan berat per volume. Bobot isi batuan juga
dipengaruhi oleh jumlah kandungan air dalam batuan tersebut. Semakin besar
bobot isi pada suatu lereng tambang maka gaya geser penyebab kelongsoran akan
semakin besar. Bobot isi diketahui dari pengujian laboratorium. Nilai bobot isi
batuan untuk analisa kestabilan lereng terdiri dari 3 parameter yaitu nilai
Bobot isi batuan pada kondisi asli, kondisi kering dan Bobot isi pada kondisi
basah.
b.
Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik menarik
antara partikel dalam batuan, dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas.
Kohesi batuan akan semakin besar jika kekuatan gesernya makin besar. Nilai
kohesi (c) diperoleh dari pengujian laboratorium yaitu pengujian kuat
geser langsung (direct shear strength test) dan pengujian
triaxial (triaxial test).
c.
Sudut Geser Dalam
Sudut geser dalam merupakan sudut
yang dibentuk dari hubungan antara tegangan normal dan tegangan geser di dalam
material tanah atau batuan. Sudut geser dalam adalah sudut rekahan yang
dibentuk jika suatu material dikenai tegangan atau gaya terhadapnya
yang melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut geser dalam suatu material
maka material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan luar yang dikenakan
terhadapnya.
Untuk mengetahui nilai kohesi dan
sudut geser dalam, dinyatakan dalam persamaan berikut :
τnt = σn tan ϕ +
c
Dimana :
τnt = Tegangan Geser
σn = Tegangan Normal
ϕ = Sudut Geser Dalam
C = Kohesi
Prinsip pengujian direct shear strength test atau juga
dikenal dengan shear box test adalah menggeser langsung contoh
tanah atau batuan di bawah kondisi beban normal tertentu. Pergeseran diberikan
terhadap bidang pecahnya, sementara untuk tanah dapat dilakukan pergeseran
secara langsung pada conto tanah tersebut. Beban normal yang diberikan
diupayakan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan.
2.
Struktur geologi
Keadaan struktur geologi yang harus diperhatikan pada
analisa kestabilan lereng penambangan adalah bidang-bidang
lemah dalam hal ini bidang ketidakselarasan (discontinuity).
Ada dua
macam bidang ketidakselarasan yaitu :
a.
Mayor discontinuity, seperti
kekar dan patahan.
b.
Minor discontinuity, seperti
kekar dan bidang-bidang perlapisan.
Struktur geologi ini merupakan hal yang penting di dalam analisa kemantapan
lereng karena struktur geologi merupakan bidang lemah di dalam suatu masa
batuan dan dapat menurunkan atau memperkecil kestabilan lereng.
3.
Geometri lereng
Geometri
lereng yang dapat mempengaruhi kestabilan lereng meliputi tinggi lereng,
kemiringan lereng dan lebar berm (b), baik itu lereng tunggal (Single
slope) maupun lereng keseluruhan (overall
slope). Suatu lereng disebut lereng tunggal (Single slope) jika
dibentuk oleh satu jenjang saja dan disebut keseluruhan (overall slope)
jika dibentuk oleh beberapa jenjang.
Lereng yang
terlalu tinggi akan cenderung untuk lebih mudah longsor dibanding dengan lereng
yang tidak terlalu tinggi dan dengan jenis batuan penyusun yang sama atau
homogen. Demikian pula dengan sudut lereng, semakin besar sudut kemiringan
lereng, maka lereng tersebut akan semakin tidak stabil.
Sedangkan semakin besar lebar berm maka lereng tersebut akan semakin
stabil.
4.
Tinggi muka air tanah
Muka air
tanah yang dangkal menjadikan lereng sebagian besar basah dan batuannya
mempunyai kandungan air yang tinggi, kondisi ini menjadikan kekuatan batuan
menjadi rendah dan batuan juga akan menerima tambahan beban air yang dikandung,
sehingga menjadikan lereng lebih mudah longsor.
5.
Iklim
Iklim
berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena iklim mempengaruhi
perubahan temperatur. Temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang
singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan. Untuk daerah tropis pelapukan
lebih cepat dibandingkan dengan daerah dingin, oleh karena itu singkapan batuan
pada lereng di daerah tropis akan lebih cepat lapuk dan ini akan mengakibatkan
lereng mudah tererosi dan terjadi kelongsoran.
6.
Gaya luar
Gaya
luar yang mempengaruhi
kestabilan lereng penambangan adalah beban alat mekanis yang beroperasi diatas lereng, getaran yang diakibatkan
oleh kegiatan peledakan,dll.
3.2 Klasifikasi Kelongsoran
Jenis atau bentuk longsoran tergantung pada jenis material penyusun dari
suatu lereng dan juga struktur geologi yang berkembang di daerah tersebut.
Karena batuan mempunyai sifat yang berbeda, maka jenis longsorannya pun akan
berbeda pula.
Menurut Made Astawa Rai, Dr. Ir, (1998) longsoran pada kegiatan
pertambangan secara umum diklasifikaskan menjadi empat bagian, yaitu :
1. Longsoran
Bidang (plane failure)
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi disepanjang
bidangluncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa rekahan,
sesar maupun bidang perlapisan batuan.
Syarat-syarat
terjadinya longsoran bidang adalah :
a.
Bidang luncur mempunyai arah yang tidak berbentuk
lingkaran.
b.
Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang
luncur dapat dilihat di muka lereng, dengan kata lain kemiringan
bidang gelincir lebih kecil dari kemiringan lereng.
c.
Kemiringan bidang luncur lebih besar dari pada sudut
geser dalamnya.
d.
Terdapat bidang bebas pada kedua sisi longsoran.
2. Longsoran
Baji (wedge failure)
Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji juga diakibatkan oleh
adanya struktur geologi yang berkembang. Perbedaannya adalah adanya dua
struktur geologi (dapat sama jenis atau berbeda jenis) yang berkembang dan
saling berpotongan.
Syarat
terjadinya longsoran baji adalah sebagai berikut :
a.
Longsoran baji ini terjadi bila dua buah jurus bidang
diskontinyu saling berpotongan pada muka lereng
b.
Sudut garis potong kedua bidang tersebut terhadap
horizontal (yi) lebih besar dari pada sudut geser
dalam (ϕ) dan lebih kecil dari pada sudut kemiringan lereng (yi).
c.
Longsoran terjadi menurut garis potong kedua bidang
tersebut.
3. Longsoran
Guling (toppling failure)
Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras dengan
bidang-bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah
kemiringan lereng. Kondisi untuk menggelincir atau mengguling ditentukan
oleh sudut geser dalam dan kemiringan sudut bidang gelincirnya.
4. Longsoran
Busur (circular failure)
Longsoran busur merupakan longsoran yang paling umum terjadi di alam,
terutama pada tanah dan batuan yang telah mengalami pelapukan sehingga hampir
menyerupai tanah. Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat terjadi
jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidan-bidang lemah
(rekahan) dengan jarak yang sangat rapat kedudukannya.
Dengan demikian longsoran busur juga terjadi pada batuan yang rapuh atau
lunak serta banyak mengandung bidang lemah, maupun pada tumpukan batuan yang
hancur.
Pada
dasarnya longsoran akan terjadi karena dua sebab, yaitu naiknya tegangan geser
(shear stress) dan menurunnya kekuatan geser (shear strenght). Adapun faktor
yang dapat menaikkan tegangan geser adalah :
1. Pengurangan
penyanggaan lateral, antara lain karena erosi, longsoran terdahulu yang
menghasilkan lereng baru dan kegiatan manusia.
2. Pertambahan
tegangan, antara lain karena penambahan beban, tekanan air rembesan, dan
penumpukan.
3. Gaya
dinamik, yang disebabkan oleh gempa dan getaran lainnya.
4. Pengangkatan
atau penurunan regional, yang disebabkan oleh gerakan pembentukan pegunungan
dan perubahan sudut kemiringan lereng.
5. Pemindahan
penyangga, yang disebabkan oleh pemotongan tebing oleh sungai, pelapukan dan
erosi di bawah permukaan, kegiatan pertambangan dan terowongan, berkurangnya/hancurnya
material dibagian dasar.
6. Tegangan
lateral, yang ditimbulkan oleh adanya air di rekahan serta pembekuan air,
penggembungan lapisan lempung dan perpindahan sisa tegangan.
Sedangkan faktor yang mengurangi kekuatan geser adalah
:
1. Keadaan atau
rona awal, memang sudah rendah dari awal disebabkan oleh komposisi, tekstur,
struktur dan geometri lereng.
2. Perubahan
karena pelapukan dan reaksi kimia fisik, yang menyebabkan lempung berposi
menjadi lunak, disinteggrasi batuan granular, turunnya kohesi, pengggembungan
lapisan lempung, pelarutan material penyemen batuan.
3. Perubahan
gaya antara butiran karena pengaruh kandungan air dan tekanan air pori.
4. Perubahan
struktur, seperti terbentuknya rekahan pada lempung yang terdapat di tebing /
lereng.
3.3 Metode Analisis Kestabilan Lereng
Ada beberapa cara yang dapat
dipakai untuk melakukan analisis kestabilan lereng, baik untuk lereng batuan
maupun lereng tanah.
Metode yang dibahas pada tulisan
ini yaitu metode Bishop (Bishop method),
aplikasi program GeoStudio 2004 – Slope/W. Pemilihan metode bishop ini
dikarenakan lapisan tanah dilokasi adalah lapisan tanah yang tidak terlalu
keras atau lunak dan berpotensi membentuk longsoran berbentuk busur lingkaran
atau circular failure slope. Berikut dijelaskan aplikasi metode bishop dalam
menganalisa kestabilan lereng tambang.
1. Metode Bishop
Metode ini digunakan dalam
menganalisa kestabilan lereng dengan memperhitungkan gaya-gaya antar irisan
yang ada dan memperhitungkan komponen gaya-gaya (horizontal dan vertikal) dengan memperhatikan keseimbangan momen
dari masing-masing potongan. Metode Bishop mengasumsikan bidang longsor
berbentuk busur lingkaran atau circular.
Pertama yang harus diketahui
adalah geometri dari lereng dan juga titik pusat busur lingkaran bidang luncur.
Tahap selanjutnya dalam proses analisis adalah membagi massa material di atas
bidang longsor menjadi beberapa elemen atau potongan.
Pada umumnya jumlah potongan
minimum yang digunakan adalah lima potongan untuk menganalisis kasus yang
sederhana. Untuk profil lereng yang kompleks atau yang terdiri dari banyak
material yang berbeda, jumlah elemen harus lebih besar.
Parameter yang mutlak dimiliki
untuk tiap-tiap elemen adalah kemiringan dari dasar elemen yaitu sebesar θ,
tegangan vertikal yang merupakan perkalian antara tinggi h dan berat jenis
tanah atau batuan (g), tekanan air yang dihasilkan dari perkalian antara tinggi
muka air tanah dari dasar elemen (hw) dan berat jenis air (gw) dan kemudian
lebar elemen (b). Disamping parameter tersebut kuat geser dan kohesi juga
diperlukan di dalam perhitungan.
Proses selanjutnya adalah
interasi faktor keamanan. Masukkan asumsi faktor keamanan = 1.00 untuk
memecahkan persamaan faktor keamanan. Seandainya nilai faktor keamanan yang
didapat dari perhitungan mempunyai selisih lebih besar dari 0,001 terhadap
faktor keamanan yang diasumsikan, maka perhitungan diulang dengan memakai
faktor keamanan hasil perhitungan sebagai asumsi kedua dari F. Demikian
seterusnya hingga perbedaan antara ke dua F kurang dari 0,001, dan F yang
terakhir tersebut adalah faktor keamanan yang paling tepat dari bidang longsor
yang telah dibuat.
3.4 Faktor Keamanan (FK) Lereng
Minimum
Kelongsoran suatu lereng penambangan umumnya terjadi melalui suatu bidang
tertentu yang disebut dengan bidang gelincir (slip surface). Kestabilan lereng tergantung pada gaya penggerak dan
gaya penahan yang bekerja pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan (resisting
force) adalah gaya yang menahan agar tidak terjadi kelongsoran,
sedangkan gaya penggerak (driving force) adalah gaya yang
menyebabkan terjadinya kelongsoran. Perbandingan antara gaya-gaya penahan
terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah inilah yang disebut dengan faktor
keamanan (FK) lereng penambangan. Dimana :
FK >
1,0 : Lereng dalam kondisi stabil.
FK <
1,0 : Lereng tidak stabil.
FK =
1,0 : Lereng dalam kondisi kritis.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat kestabilan lereng
penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1.00 belum dapat menjamin bahwa
lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal ini disebabkan karena ada
beberapa faktor yang perlu
diperhitungkan dalam analisa faktor keamanan lereng
penambangan, seperti kekurangan dalam pengujian conto di laboratorium serta
conto batuan yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan, tinggi
muka air tanah pada lereng tersebut, getaran akibat kegiatan peledakan di
lokasi penambangan, beban alat mekanis yang beroperasi.
Dengan demikian, diperlukan suatu nilai faktor keamanan minimum dengan
suatu nilai tertentu yang disarankan sebagai batas faktor keamanan terendah
yang masih aman sehingga lereng dapat dinyatakan stabil atau
tidak. Sehingga pada penelitian ini, faktor keamanan minimum yang
digunakan adalah FK ≥ (sama dengan atau lebih besar) dari1.25,
sesuai prosedur dari Joseph E. Bowles (2000), Dengan ketentuan
:
FK ≥ 1,25 : Lereng
dalam kondisi Aman.
FK < 1,07 :
Lereng dalam kondisi Tidak Aman.
FK > 1,07 ; <1,25 :
Lereng dalam kondisi kritis.
3.5 Geometri
Jenjang (Bench Dimension)
Sebelum mengetahui beberapa pendapat
mengenai dimensi jenjang, perlu diketahui istilah pada jenjang seperti terlihat
di bawah ini.
Gambar 3.1 Bagian-Bagian Dari “Bench” (Hustrulid.W. &
Kuchta.M.)
Dalam penentuan gometri jenjang, beberapa hal
yang dipertimbangkan, antara lain :
1. Sasaran
produksi harian dan tahunan
2. Ukuran alat
mekanis yang digunakan
3. Sesuai
dengan ultimate pit slope
4. Sesuai
dengan kriteria slope stability
Elemen-elemen suatu jenjang terdiri
dari tinggi, lebar dan kemiringan yang penentuan dimensinya dipengaruhi oleh:
1. Alat-alat
berat yang dipakai (terutama alat gali dan angkut)
2. Kondisi
geologi
3. Sifat fisik
batuan
4. Selektifitas
pemisahan yang diharapkan antara bijih dan buangan
5. Laju
produksi
6. Iklim.
Tinggi jenjang adalah jarak vertikal
diantara level horisontal pada pit; lebar jenjang adalah jarak horisontal
lantai tempat di mana seluruh aktifitas penggalian, pemuatan dan
pengeboran-peledakan dilaksanakan; dan kemiringan jenjang adalah sudut lereng
jenjang. Batas ketinggian jenjang diupayakan sesuai dertgan tipe alat muat yang
dipakai agar bagian puncaknya terjangkau oleh boom alat muat.
Gambar 3.2 Pembuatan
“Bench” cara US Army Engineer (“Pit
& Quaries”, No. 5-332, 1967)
Disamping itu batas ketinggian
jenjang pun harus mempertimbangkan aspek kestabilan lereng, yaitu tidak
longsor karena getaran peledakan atau akibat hujan. Tinggi pada tambang terbuka
dan quarry batu andesit dan granit sekitar 15 m, sedangkan pada tambang uranium
hanya sekitar 1,0 m.
Kemiringan dinding jenjang merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran dan bentuk pit serta luas areal pit.
Kemiringan lereng jenjang juga akan membantu penentuan jumlah buangan yang
harus diangkat untuk mendapatkan bijih. Telah disinggung sebelumnya bahwa
lereng jenjang harus stabil selama aktifitas penggailan berlangsung, oleh sebab
itu perlu dilakukan analisis kestabilan lereng diseluruh areal tambang (pit).
Kekuatan batuan, patahan, retakan-retakan, kandungan air tanah dan informasi
geologi lainnya adalah faktor kunci untuk menganalisis lereng tambang. Akibat
dari perbedaan karakteristik batuan dan informasi geologi, maka tidak heran
apabila di dalam wilayah penambangan akan terjadi kemiringan lereng yang
berbeda. Kemiringan dinding permuka kerja (individual slope) pada tambang bijih
dan quarry batuan kompak berkisar antara 720 – 850. Penentuan lebar jenjang
akan dipengaruhi oleh laju produksi yang diinginkan, dimensi serta jumlah alat
angkut dan alat muat, aktifitas pengeboran-peledakan dan kondisi geologi di
sekitar pit.
Tidak ada rumus baku untuk
menentukan lebar jenjang; namun, beberapa parameter penting di bawah ini harus
dipertimbangkan, meliputi:
1. Radius
manuver alat angkut saat akan dimuat material oleh alat muat, rm;
2. Cukup
leluasa untuk berpapasan minimal dua alat angkut, 2 lt +c ;
3. Lebar
maksimum tumpukan hasil peledakan (muckpile), mp ;
4. Lebar areal
yang akan dibor, Ld.
Berdasarkan parameter di atas, maka dapat dibuat rumus
empiris lebar jenjang (LB) sebagai berikut:
LB = Rm+(2Lt+c)+Mp+Ld
Parameter Lt adalah lebar sebuah
truck maksimum dan c adalah konstanta yang tergantung pada jarak dua truck yang
aman ketika berpapasan, yaitu antara 5,0 m sampai 10 m.
Wmin = Y +Wt + Ls + G + Wb
Dimana :
W min : Lebar jenjang minimum (m)
Y :
Lebar yang disediakan untuk pengeboran (m)
Wt :
Lebar yang disediakan untuk alat -alat (m)
Ls :
Panjang power shovel tanpa boom (m)
G :
Radius lantai kerja yang terpotong oleh shovel (m)
Wb :
Lebar untuk broken material (m)
Beberapa pihak yang mengeluarkan
pendapat mengenai dimensi jenjang, antara lain :
1.
Lewis (Elements of Mining)
Tinggi jenjang
sebagai berikut :
a. Untuk
hidraulicking yang baik adalah 20 ft dan maksimum 60 ft
b. Untuk
dredging kedalaman ideal antara 50 ft – 80 ft, tetapi ada yang sampai 130 m
c. Untuk
Open-cut antara 12 ft – 75 ft; yang baik 30 ft. Sedangkan untuk tambang bijih dapat
mencapai 225 ft. Lebar jenjang disesuaikan dengan loading track, daerah operasi
power shovel serta untuk peledakan. Lebarnya antara 20 ft – 75 ft, umumnya 50
ft dan idealnya 30 ft .
2.
L. Shevyakov (Mining of Mineral Deposits)
Lebar jenjang tergantung pada metode
penggalian dan kekerasan bahan galian yang ditambang.
a. Untuk
Material Lunak
B = (1,00 s.d 1,50 ) Ro + L + L1 + L2
Dimana :
B :
Lebar jenjang (m)
Ro :
Digging radius dari alat muat (m)
L :
Jarak ant ara sisi jenjang dengan rel (3 – 4 m)
L1 :
Lebar lori (1,75 – 3,00 m)
L2 :
Jarak untuk menjaga agar tidak longsor (m)
b. Untuk
Material Keras
B = N + L + L1 + L2
Dimana :
B : Lebar jenjang (m)
N : Lebar yang dibutuhkan untuk broken material (m)
3.
Melinkov dan Chevnokov (Safety in Open Cast Mining)
a. Untuk
Lapisan yang lunak (soft strata)
B = 2R + C + C1 + L
Dimana :
B : Lebar jenjang (m)
R : Digging radius dari alat muat (m)
C : Jarak sisi jenjang atau broken material ke garis
tengah rel (m)
L : lebar yang disediakan untuk faktor keamanan, biasanya
sebesar dump-truck (m)
b. Untuk
Lapisan yang lunak (soft strata)
B = a + C + C1 + L + A
Dimana :
B :
Lebar jenjang (m)
a :
Lebar untuk broken material (m)
A :
Lebar pemotongan pert ama (m)
4.
Popov (The Working of Mineral Deposit)
a. Tinggi jenjang dan kemiringannya
i) Kemiringan
jenjang tergantung pada kandung air pada bahan galian; bila relatif kering
biasanya memungkinkan kemiringan jenjang yang besar.
ii) Umumnya
tinggi jenjang berkisar antara 12 – 15 m dengan kemiringan :
a) untuk batuan
beku : 70o – 80o
b) untuk batuan
sedimen : 50o – 60o
c) untuk batuan
ledge dan pasir kering : 40o – 50o
d) untuk batuan
yang argilaceous : 35o – 45o
b. Lebar jenjang
Lebar jenjang antara 40 – 60 m,
biasanya juga dibuat antara 80 – 100 m jika memakai multi row bore-hole. Lebar
minimum untuk batuan keras :
Vr = A + C + C1 + L + B
Dimana :
Vr :
Lebar jenjang minimum (m)
A :
Lebar untuk broken material (m)
C :
Jarak sisi timbunan ke sisi tengah rel (m)
C1 :
Setengah lebar lori ( m)
B :
Lebar endapan yang diledakkan (6 – 12 m)
L :
Lebar yang disediakan untuk menjamin ekstraksi endapan pada jenjang di bawahnya
5. Young
(Elements of Mining)
a. Tinggi
jenjang :
1) untuk tambang
bijih besi : 20 – 40 ft
2) untuk tambang
bijih tembaga : 30 – 70 ft
3) untuk lime
st on e : s.d. 200 ft
b. Lebar
jenjang : 50 – 250 ft
c. Kemiringan
jenjang : 45º – 65º
6. E.
P. Pfeider (Surface Mining)
L = Lm + SF x
Dimana :
L :
Tinggi jenjang (m)
Lm :
Maximum cutting height dari alat-muat (m)
SF :
Swell Factor (m)
X =
0,33 untuk cara corner cut
= 0,50 untuk cara box cut
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dalam menentukan kestabilan atau
kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan (safety factor) yang
merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya
yang menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila dirumuskan sebagai
berikut :
Faktor kemanan (F) = gaya penahan /
gaya penggerak
Data yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai
FK (Faktor keamanan lereng) adalah sebagai berikut :
1.
Data lereng atau geometri lereng (terutama diperlukan
untuk membuat penampang lereng).
2.
Data mekanika tanah
3.
Faktor Luar
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisa kestabilan lereng
penambangan adalah sebagai berikut : (Ir.
Karyono M.T, Diklat Perencanaan Tambang Terbuka, Unisba).
1.
Kuat Geser Tanah atau Batuan
2.
Struktur geologi
3.
Geometri lereng
4.
Tinggi muka air tanah
5.
Iklim
6.
Gaya luar
Kelongsoran suatu lereng penambangan
umumnya terjadi melalui suatu bidang tertentu yang disebut dengan bidang
gelincir (slip surface). Kestabilan
lereng tergantung pada gaya penggerak dan gaya penahan yang bekerja pada bidang
gelincir tersebut. Gaya penahan (resisting force) adalah gaya
yang menahan agar tidak terjadi kelongsoran, sedangkan gaya penggerak (driving
force) adalah gaya yang menyebabkan terjadinya kelongsoran.
Perbandingan antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan
tanah inilah yang disebut dengan faktor keamanan (FK) lereng penambangan.
Dimana :
1.
FK > 1,0 : Lereng dalam kondisi stabil.
2.
FK < 1,0 : Lereng tidak stabil.
3.
FK = 1,0 : Lereng dalam kondisi kritis.
Dalam penentuan gometri jenjang,
beberapa hal yang dipertimbangkan, antara lain :
1. Sasaran
produksi harian dan tahunan
2. Ukuran alat
mekanis yang digunakan
3. Sesuai
dengan ultimate pit slope
4. Sesuai
dengan kriteria slope stability
Elemen-elemen suatu jenjang terdiri
dari tinggi, lebar dan kemiringan yang penentuan dimensinya dipengaruhi oleh:
1. Alat-alat
berat yang dipakai (terutama alat gali dan angkut)
2. Kondisi
geologi
3. Sifat fisik
batuan
4. Selektifitas
pemisahan yang diharapkan antara bijih dan buangan
5. Laju
produksi
6. Iklim.
Tidak ada rumus baku untuk
menentukan lebar jenjang; namun, beberapa parameter penting di bawah ini harus
dipertimbangkan, meliputi:
1. Radius
manuver alat angkut saat akan dimuat material oleh alat muat, rm;
2. Cukup leluasa
untuk berpapasan minimal dua alat angkut, 2 lt +c ;
3. Lebar
maksimum tumpukan hasil peledakan (muckpile), mp ;
4. Lebar areal
yang akan dibor, Ld.
Berdasarkan parameter di atas, maka dapat dibuat rumus
empiris lebar jenjang (LB) sebagai berikut:
LB = Rm+(2Lt+c)+Mp+Ld
4.2
Saran
Dalam hal ini penulis menyarankan dalam makalah
karya ilmiah Parameter Geoteknik Untuk Kestabilan
Lereng Pada Tambang Terbuka bahwa dalam
kegiatan tersebut dapat menyajikan secara grafis (rencana/bagian dari rencana)
masalah pengukuran, pemecahan masalah dari data geotek dengan menggunakan
software tambang yang sudah ada sehingga kedepannya mampu mengaplikasikan pada
dunia tambang dan dalam mata kuliah ini juga penulis menyarankan agar
diadakannya praktikum langsung kelapangan yang mampu mengembang ilmu dari
mahasiswa yang telah didapat di perkuliahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar